Gerakan Non-Blok (GNB)
(bahasa Inggris: Non-Aligned Movement/NAM)
adalah suatu organisasi
internasional yang terdiri dari lebih dari
100 negara-negara yang tidak menganggap dirinya beraliansi dengan atau terhadap blok kekuatan besar apapun.
Tujuan dari organisasi ini, seperti yang tercantum dalam Deklarasi Havana tahun 1979,
adalah untuk menjamin "kemerdekaan, kedaulatan, integritas teritorial, dan
keamanan dari negara-negara nonblok" dalam perjuangan mereka menentang imperialisme, kolonialisme, neo-kolonialisme, apartheid, zionisme, rasisme dan segala bentuk agresi
militer, pendudukan, dominasi, interferensi atau hegemoni dan menentang segala bentuk
blok politik.[1] Mereka merepresentasikan 55
persen penduduk dunia dan hampir 2/3 keangotaan PBB.
Negara-negara yang telah menyelenggarakan konferensi tingkat tinggi (KTT)
Non-Blok termasuk Yugoslavia, Mesir, Zambia, Aljazair, Sri Lanka, Kuba, India, Zimbabwe, Indonesia, Kolombia, Afrika Selatan dan Malaysia.
Sejarah
Gerakan Non-Blok (GNB) (bahasa Inggris: Non-Aligned
Movement/NAM) adalah suatu organisasi internasional yang terdiri dari lebih
dari 100 negara-negara yang tidak menganggap dirinya beraliansi dengan atau
terhadap blok kekuatan besar apapun.
Sejarah Berdirinya GNB
Di era tahun 50-an, Negara-negara di dunia
terpolarisasi kedalam dua kutub. Ketika itu terjadi pertarungan yang kuat antra
Timur dan Barat terutama sekali pada era perang dingin (cold war) antara
Amerika Serikat dan Uni Sovyet.
Sebagian Negara masuk dalam Blok Amerika dan sebagian lagi masuk dalam Blok Uni Sovyet. Aliansi dan pertarungan didalamnya memberikan akibat fisik yang negative bagi beberapa Negara di dunia seperti misalnya Jerman yang sempat terbagi menjadi dua bagian, Vietnam dimasa lalu, serta Semenanjung Korea yang sampai saat sekarang ini masih terbelah menjadi Korea Utara dan Korea Selatan.
Dalam pertarungan ini Negara dunia ketiga menjadi wilayah persaingan yang amat mempesona buat keduanya. Sebut saja misalnya Negara-negara di kawasan Asia Timur dan Tenggara seperti Indonesia, Malaysia, Thailand, Jepang serta Negara-negara di kawasan lain yang kaya akan energi dunia seperti Uni Emirat Arab, Kuwait dan Qatar.
Sebagian Negara masuk dalam Blok Amerika dan sebagian lagi masuk dalam Blok Uni Sovyet. Aliansi dan pertarungan didalamnya memberikan akibat fisik yang negative bagi beberapa Negara di dunia seperti misalnya Jerman yang sempat terbagi menjadi dua bagian, Vietnam dimasa lalu, serta Semenanjung Korea yang sampai saat sekarang ini masih terbelah menjadi Korea Utara dan Korea Selatan.
Dalam pertarungan ini Negara dunia ketiga menjadi wilayah persaingan yang amat mempesona buat keduanya. Sebut saja misalnya Negara-negara di kawasan Asia Timur dan Tenggara seperti Indonesia, Malaysia, Thailand, Jepang serta Negara-negara di kawasan lain yang kaya akan energi dunia seperti Uni Emirat Arab, Kuwait dan Qatar.
Dalam kondisi yang seperti ini, lahir
dorongan yang kuat dari para pemimpin dunia ketiga untuk dapat keluar dari
tekanan dua Negara tersebut.
Akhirnya pada tahun 1955 bertempat di Bandung, Indonesia, 29 Kepala Negara Asia dan Afrika bertemu membahas masalah dan kepentingan bersama, termasuk didalamnya mengupas secara serius tentang kolonialisme dan pengaruh kekuatan “barat”. Pertemuan ini disebutkan pula sebagai Konferensi Asia Afrika atau sering disebut sebagai Konferensi Bandung. Konferensi inilah yang menjadi tonggak lahirnya Gerakan Non Blok.
Pembangunan Gerakan Non-blok dicanangkan dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) yang dihadiri 25 negara dari Asia, Afrika, Eropa, dan Latin Amerika diselenggarakan di Biograd (Belgrade), Yugoslavia pada tahun 1961. Pemimpin kharismatik dari Yugoslavia, Presiden Broz Tito, menjadi pemimpin pertama dalam Gerakan Non-Blok. Sejak pertemuan Belgrade tahun 1961, serangkaian Konferensi Tingkat Tinggi Gerakan Non Blok telah diselenggarakan di Kairo, Mesir (1964) diikuti oleh 46 negara dengan anggota yang hadir kebanyakan dari negara-negara Afrika yang baru meraih kemerdekaan, kemudian Lusaka, Zambia (1969), Alzier, Aljazair (1973) saat terjadinya krisis minyak dunia, Srilangka (1977), Cuba (1981), India (1985), Zimbabwe (1989), Indonesia, Kolombia, Afrika Selatan, dan terakhir di Malaysia pada tahun 2003. Dengan didasari oleh semangat Dasa Sila Bandung, maka pada tahun 1961 Gerakan Non Blok dibentuk oleh Josep Broz Tito, Presiden Yugoslavia saat itu
Penggunaan istilah “Non-Alignment” (Tidak Memihak) pertama kali dilontarkan Perdana Menteri India Jawaharlal Nehru dalam pidatonya di Srilangka tahun 1954. Dalam pidato ini, Perdana Menteri Nehru menjelaskan lima pilar prinsipil, empat pilar diantaranya disampaikan oleh Petinggi Tiongkok Chou En-lai, yang dijadikan pedoman bagi hubungan antara Tiongkok dengan India. Lima prinsip itu disebut dengan “Panchshell”, yang kemudian menjadi basis dari Gerakan Non-Blok. Kelima prinsip tersebut adalah:
1. Saling menghormati kedaulatan teritorial
2. Saling tidak melakukan agresi
3. Saling tidak mencampuri urusan dalam negeri
4. Setara dan saling menguntungkan, serta
5. Berdampingan dengan Damai
Akhirnya pada tahun 1955 bertempat di Bandung, Indonesia, 29 Kepala Negara Asia dan Afrika bertemu membahas masalah dan kepentingan bersama, termasuk didalamnya mengupas secara serius tentang kolonialisme dan pengaruh kekuatan “barat”. Pertemuan ini disebutkan pula sebagai Konferensi Asia Afrika atau sering disebut sebagai Konferensi Bandung. Konferensi inilah yang menjadi tonggak lahirnya Gerakan Non Blok.
Pembangunan Gerakan Non-blok dicanangkan dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) yang dihadiri 25 negara dari Asia, Afrika, Eropa, dan Latin Amerika diselenggarakan di Biograd (Belgrade), Yugoslavia pada tahun 1961. Pemimpin kharismatik dari Yugoslavia, Presiden Broz Tito, menjadi pemimpin pertama dalam Gerakan Non-Blok. Sejak pertemuan Belgrade tahun 1961, serangkaian Konferensi Tingkat Tinggi Gerakan Non Blok telah diselenggarakan di Kairo, Mesir (1964) diikuti oleh 46 negara dengan anggota yang hadir kebanyakan dari negara-negara Afrika yang baru meraih kemerdekaan, kemudian Lusaka, Zambia (1969), Alzier, Aljazair (1973) saat terjadinya krisis minyak dunia, Srilangka (1977), Cuba (1981), India (1985), Zimbabwe (1989), Indonesia, Kolombia, Afrika Selatan, dan terakhir di Malaysia pada tahun 2003. Dengan didasari oleh semangat Dasa Sila Bandung, maka pada tahun 1961 Gerakan Non Blok dibentuk oleh Josep Broz Tito, Presiden Yugoslavia saat itu
Penggunaan istilah “Non-Alignment” (Tidak Memihak) pertama kali dilontarkan Perdana Menteri India Jawaharlal Nehru dalam pidatonya di Srilangka tahun 1954. Dalam pidato ini, Perdana Menteri Nehru menjelaskan lima pilar prinsipil, empat pilar diantaranya disampaikan oleh Petinggi Tiongkok Chou En-lai, yang dijadikan pedoman bagi hubungan antara Tiongkok dengan India. Lima prinsip itu disebut dengan “Panchshell”, yang kemudian menjadi basis dari Gerakan Non-Blok. Kelima prinsip tersebut adalah:
1. Saling menghormati kedaulatan teritorial
2. Saling tidak melakukan agresi
3. Saling tidak mencampuri urusan dalam negeri
4. Setara dan saling menguntungkan, serta
5. Berdampingan dengan Damai
PERANAN INDONESIA DALAM GERAKAN NON BLOK
A. INDONESIA DAN GNB
Bagi Indonesia, Gerakan Non Blok merupakan wadah yang tepat bagi Negara-negara berkembang untuk memperjuangkan cita-citanya dan untuk itu Indonesia senantiasa berusaha secara konsisten dan aktif membantu berbagai upaya kearah pencapaian tujuan dan prinsip-prinsip Gerakan Non Blok.
GNB mempunyai arti yang khusus bagi bangsa Indonesia yang dapat dikatakan lahir sebagai Negara netral yang tidak memihak. Hal tersebut tercermin dalam Pembukaan UUD 1945 yang menyatakan bahwa “kemerdekaan adalah hak segala bangsa, dan oleh sebab itu maka penjajahan diatas dunia haurs dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan”. Selain itu diamanatkan pula bahwa Indonesia ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Kedua mandat tersebut juga merupakan falsafah dasar GNB.
Sesuai dengan politik luar negeri yang bebas dan aktif, Indonesia memilih untuk menentukan jalannya sendiri dalam upaya membantu tercapainya perdamaian dunia dengan mengadakan persahabatan dengan segala bangsa.
Sebagai implementasi dari politik luar negeri yang bebas dan aktif itu, selain sebagai salah satu Negara pendiri GNB, Indonesia juga senantiasa setia dan commited pada prinsip-prinsip dan aspirasi GNB.
Sikap ini secara konsekuen diaktualisasikan Indonesia dalam kiprahnya pada masa kepemimpinan Indonesia pada tahun 1992 – 1995 diawal era pasca perang dingin. Pada masa itu, Indonesia telah berhasil membawa GNB untuk mampu menentukan arah dan secara dinamis menyesuaikan diri pada setiap perubahan yang terjadi dengan menata kembali prioritas-prioritas lama dan menentukan prioritas-prioritas baru dan menetapkan orientasi serta pendekatan yang baru pula.
Bagi Indonesia, Gerakan Non Blok merupakan wadah yang tepat bagi Negara-negara berkembang untuk memperjuangkan cita-citanya dan untuk itu Indonesia senantiasa berusaha secara konsisten dan aktif membantu berbagai upaya kearah pencapaian tujuan dan prinsip-prinsip Gerakan Non Blok.
GNB mempunyai arti yang khusus bagi bangsa Indonesia yang dapat dikatakan lahir sebagai Negara netral yang tidak memihak. Hal tersebut tercermin dalam Pembukaan UUD 1945 yang menyatakan bahwa “kemerdekaan adalah hak segala bangsa, dan oleh sebab itu maka penjajahan diatas dunia haurs dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan”. Selain itu diamanatkan pula bahwa Indonesia ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Kedua mandat tersebut juga merupakan falsafah dasar GNB.
Sesuai dengan politik luar negeri yang bebas dan aktif, Indonesia memilih untuk menentukan jalannya sendiri dalam upaya membantu tercapainya perdamaian dunia dengan mengadakan persahabatan dengan segala bangsa.
Sebagai implementasi dari politik luar negeri yang bebas dan aktif itu, selain sebagai salah satu Negara pendiri GNB, Indonesia juga senantiasa setia dan commited pada prinsip-prinsip dan aspirasi GNB.
Sikap ini secara konsekuen diaktualisasikan Indonesia dalam kiprahnya pada masa kepemimpinan Indonesia pada tahun 1992 – 1995 diawal era pasca perang dingin. Pada masa itu, Indonesia telah berhasil membawa GNB untuk mampu menentukan arah dan secara dinamis menyesuaikan diri pada setiap perubahan yang terjadi dengan menata kembali prioritas-prioritas lama dan menentukan prioritas-prioritas baru dan menetapkan orientasi serta pendekatan yang baru pula.
Kata "Non-Blok" diperkenalkan
pertama kali[rujukan?] oleh Perdana Menteri India Nehru dalam
pidatonya tahun 1954 di Colombo, Sri Lanka. Dalam pidato
itu, Nehru menjelaskan lima pilar yang dapat digunakan sebagai pedoman untuk
membentuk relasi Sino-India yang disebut
dengan Panchsheel (lima
pengendali). Prinsip ini kemudian digunakan sebagai basis dari Gerakan Non-Blok.
Lima prinsip tersebut adalah:
2.
Perjanjian non-agresi
3.
Tidak mengintervensi urusan dalam negeri
negara lain
4.
Kesetaraan dan keuntungan bersama
5.
Menjaga perdamaian
Gerakan Non-Blok
sendiri bermula dari sebuah Konferensi Tingkat Tinggi Asia-Afrika sebuah konferensi
yang diadakan di Bandung, Indonesia, pada tahun 1955. Di sana,
negara-negara yang tidak berpihak pada blok tertentu mendeklarasikan keinginan
mereka untuk tidak terlibat dalam konfrontasi ideologi Barat-Timur. Pendiri
dari gerakan ini adalah lima pemimpin dunia: Josip Broz Titopresiden Yugoslavia, Soekarno presiden Indonesia, Gamal Abdul Nasser presiden Mesir, Pandit Jawaharlal Nehru perdana
menteri India, dan Kwame Nkrumah dari Ghana.
Gerakan ini sempat
kehilangan kredibilitasnya pada akhir tahun1960-an ketika anggota-anggotanya
mulai terpecah dan bergabung bersama Blok lain, terutama Blok Timur. Muncul
pertanyaan bagaimana sebuah negara yang bersekutu dengan Uni Soviet seperti
Kuba bisa mengklaim dirinya sebagai negara nonblok. Gerakan ini kemudian
terpecah sepenuhnya pada masa invasi Soviet terhadap Afghanistan tahun 1979.
Pelopor Gerakan Non Blok:
1. Josip Broz Tito presiden Yugoslavia,
2. Soekarno presiden Indonesia,
3. Gamal Abdul Nasser presiden Mesir,
4. Pandit Jawaharlal Nehru perdana menteri India, dan
5. Kwame Nkrumah dari Ghana.
1. Josip Broz Tito presiden Yugoslavia,
2. Soekarno presiden Indonesia,
3. Gamal Abdul Nasser presiden Mesir,
4. Pandit Jawaharlal Nehru perdana menteri India, dan
5. Kwame Nkrumah dari Ghana.
created by @goenwu